Tingkatkan Pemenuhan Hak Anak, Ketua PKPPA Dr Ruth Umbase Lakukan Penelitian di LPKA Tomohon

Setiap anak merupakan Anugerah Tuhan, sejak anak dilahirkan telah memiliki hak-hak dasar untuk hidup dan tumbuh-kembang. Anak memiliki potensi untuk dikembangkan dalam proses tumbuh-kembangnya.

 
 

Namun anak tidak bisa memilih siapa yang dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Anak pun tidak berdaya di bawah pengasuhan dan kekuasaan orang dewasa yang ada di lingkungan rumah tempat tinggalnya.

 
 

Semua proses kelangsungan hidupnya bergantung pada orang dewasa yang mengasuh, memelihara dan mendidiknya, termasuk pilihan untuk menganut agama dan beribadah serta melaksanakan ajaran agama.

 
 

Sesuai dengan Konvensi Hak Anak, dan Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa setiap anak memiliki hak atas identitas keagamaan sekaligus juga berhak untuk menjalankan ibadah sesuai agama yang dianutnya. Namun demikian tidak semua anak mendapatkan pemenuhan hak untuk menganut agama dan menjalankan ibadahnya.

 
 

Fakta tentang anak yang kehilangan hak atas identitas keagamaannya kemudian berdampak pada kehilangan hak anak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya itu; selanjutnya anak kehilangan kesempatan untuk memperoleh pedoman rohani, kehilangan bimbingan spiritual, kehilangan nilai-nilai keagamaan, kehilangan identitas keagamaan.

 
 

Anak-anak yang dilahirkan dari orang tua yang berbeda agama/golongan agama di antaranya mengalami masalah kehilangan hak atas identitas keagamaan

 

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kasus (case study). Sumber data dalam studi kasus ini yaitu Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak di Tomohon.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat merekomendasikan rumusan kebijakan terhadap sistem perlindungan anak dan system informasi administrasi kependudukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil/KUA serta lembaga/urusan agama lainnya.

Memberikan informasi tentang carut-marut permasalahan yang dihadapi anak sebagai akibat perlakuan salah oleh orang dewasa, menyajikan langkah-langkah penanganan untuk mengelimir kasus-kasus akibat kekeliruan dalam pemenuhan hak anak khususnya pada kluster hak sipil dan kemerdekaan beragama.

Temuan awal menunjukkan bahwa ABH sebagian berasal dari pasangan suami istri yang berbeda agama dan kurang harmonis. Anak tidak mendapatkan “role model” untuk diteladani dalam menjalankan ajaran agama yang dianut; sebaliknya perbedaan agama telah menjadi konflik perebutan pengaruh oleh keluarga besar kedua pihak terutama yang tinggal di lingkungan yang berdekatan.

Fanatisme keagamaan, perbedaan pemahaman tentang ajaran agama, konflik keagamaan di masyarakat dan di dalam keluarga termasuk perebutan pengaruh keagamaan, serta nilai-nilai pragmatisme telah berdampak pada kehidupan manusia. Di dalam lingkungan rumah tangga- keluarga yang berbeda agama/golongan agama secara positif dapat tumbuh toleransi keagamaan yang kuat tetapi juga dapat menjadi “konflik terselubung” ketika fanatisme dan intervensi oleh pihak ketiga tidak dapat disikapi secara bijak.

Anak akan menjadi ajang perebutan pengaruh keagamaan dan pada akhirnya anak kehilangan identitas dan nilai-nilai keagamaan sebagai pedoman hidup pada masa tumbuh-kembangnya. Kondisi konflik seperti ini menyebabkan anak tumbuh dalam situasi yang sulit, kacau, dan tidak menentu.

Menyikapi akan hal tersebut, Senin (19/08) Ketua Pusat Kajian Perempuan dan Perlindungan Anak Dr. Ruth Sriana Umbase, M.Hum melakukan penelitian dengan metode studi kasus d LPKA Tomohon

Kedatangan dari ibu Ruth di sambut baik oleh kepala LPKA Tomohon Tjahja Rediantana Bc.Ip, SH MH

dari penelitian yang di lakukan kepada beberapa anak menunjukkan bahwa kehidupan orang tua yang kurang harmonis sangat berpengaruh bagi tumbuh kembang anak

Peran orang tua sangat penting untuk mendidik dan membesarkan anak agar kelak mereka bisa menjadi pribadi yang baik.

  
This image has an empty alt attribute; its file name is Point-Blur_Aug192019_203104-1-1024x768.jpg
 
 
  

Cetak   E-mail